Kritik & saran positif silakan di email abd.kholik99@gmail.com / abd.kholik67@yahoo.com

Tuesday, May 24, 2016

Chairul Huda: Kembalikan PK Sesuai Ruh KUHAP

Ia termasuk salah seorang akademisi yang ahli bidang hukum acara pidana. Lelaki kelahiran 28 Oktober 1970 itu lulus dalam program doktor ilmu hukum Universitas Indonesia dengan predikat cum laude.

MYS

Chairul Huda. Foto: RIA

Dengan keahliannya di bidang hukum acara pidana, Chairul Huda beberapa kali tampil sebagai ahli, baik di sidang perkara umum, perkara tindak pidana korupsi, dan permohonan pengujian Undang-Undang. Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta ini juga menjadi anggota tim penyusun RUU KUHP.
 
Hukumonline berkesempatan meminta pandangan Chairul Huda atas putusan Mahkamah Konstitusi yang ‘melarang’jaksa mengajukan Peninjauan Kembali(PK). Ia mengaku terkejut karena tak menduga putusan demikian keluar. “Saya agak kaget juga permohonan itu dikabulkan,” ujarnya.
 
Meskipun kaget, penulis buku Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan (2006) itu menilai putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 263 ayat (1) KUHAP sudah tepat. Yang salah justru penyimpangan di dunia peradilan. Rumusan Pasal 263 ayat (1) sudah benar. Sesuatu yang sudah jelas dan benar tak perlu diinterpretasikan macam-macam; clara non sunt interpretanda.

 

Pasal 263 ayat (1) KUHAP

 
Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”.

 
Berikut petikan wawancarahukumonline dengan Chairul Huda yang berlangsung di Banjarmasin, Senin, 16 Mei lalu. Ia menyediakan waktu sesaat sebelum tampil sebagai pembicara pada Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi III yang diselenggarakan Mahupiki dan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat.
 
Bagaimana Anda menilai putusan MK yang melarang jaksa mengajukan PK?
Putusan itu hanya menegaskan norma yang tersurat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Karena sekalipun norma itu sudah jelas bahwa PK itu menjadi hak terpidana atau ahli warisnya, tapi praktik peradilan terutama penafsiran dari kejaksaan selalu beranggapan bahwa mereka punya hak mengajukan PK, dan bahkan sudah pernah mengajukan PK. Dilalah, Mahkamah Agung pun dalam beberapa putusan mengatakan bahwa hak itu ada. Tapi beberapa putusan lain menyatakan sebaliknya. Kan gitu. Akhirnya kan menimbulkan ketidakpastian hukum. Akhirnya kemudian, putusan MK terhadap permohonan ini menurut saya sudah tepat.
 
Kenapa tepat? 
Karena menegaskan bahwa norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP itu konstitusional sepanjang ditafsirkan seperti apa yang ada dalam norma itu sendiri. Jadi, tidak boleh ditafsirkan lain.
 
Bagaimana KUHAP menjamin kepentingan jaksa dan kepentingan terpidana atau ahli warisnya berimbang?
Kalau jaksa kan ada kasasi demi kepentingan hukum. Upaya hukum luar biasa yang bisa dilakukan penegak hukum adalah kasasi demi kepentingan hukum. Itulah pasangan dari peninjauan kembali yang menjadi hak terpidana atau ahli warisnya. Jadi dari sisi korban, juga mendapat perlindungan. Di sisi lain, kalau memang ada hal-hal yang sangat luar biasa, demi kepentingan hukum jaksa bisa mengajukan kasasi sebagai upaya hukum luar biasa, di luar upaya kasasi yang biasa.
 
(Pasal 260 ayat 1 KUHAP menyebutkan permohonan kasasi demi kepentingan hukum disampaikan secara tertulis oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui Panitera Pengadilan yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama, disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu).
 
Kalau bicara implikasi putusan ini, harusnya pengadilan menolak langsung permohonan oleh jaksa?
Menurut saya seharusnya begitu. Tetapi kalau kita lihat historical-nya dalam beberapa hal MA mengabaikan putusan MK. Misalnya ketika dulu MK membatalkan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berkenaan dengan melawan hukum materiil. Tetapi setelah putusan itu banyak juga putusan MA yang tetap saja mengakui perbuatan hukum materiil. Tinggal kita mau melihat apakah masing-masing punya kedewasaan untuk bersikap. Atau, contoh lain, ketika MK membatalkan pasal KUHAP yang menegaskan PK hanya bisa diajukan satu kali. Itu pun katakanlah di-counter MA  dengan surat edaran (SEMA No. 7 Tahun 2014—red)yang menyatakan PK hanya boleh satu kali. Ini kan berada pada persoalan kedewasaan dalam menjalankan peran masing-masing antara MK dan MA. Menurut saya sih begitu.
 
Jadi, Anda melihatnya lebih sebagai masalah kedewasaan bersikap kedua pelaku kekuasaan kehakiman?
Betul. Sekarang ini kan bisa dikatakan MA juga sudah bersikap bahwa PK tidak bisa diajukan jaksa. MA sudah beberapa kali menolak PK jaksa. Tapi bagaimana itu menjadi sebuah suatu hal yang tidak perlu  MA merasa didikte MK. Kalau saya berpendapat seperti itu. Artinya ketika MK membuat tafsiran atas suatu UU yang nyata-nyata bertentangan dengan tafsiran yang selama ini dianut MA lalu MA merasa didikte oleh MK, sehingga kemudian “nyeleneh”. Ini yang kita harapkan, dewasa saja menyikapi pelaksanaan kewenangan masing-masing.
 
Dulu PK oleh jaksa bernuansa politik terutama karena kasus Ketua SBSI Muchtar Pakpahan…
Memang pertama mengenai Muchtar Pakpahan. Saat itu dalam rapat kabinet Presiden memerintahkan langsung jaksa agung agar mengajukan PK. Tapi masa itu kan sudah berakhir. Walaupun diikuti kemudian dalam kasus Gandhi Memorial School, Pollycarpus, dan Djoko S Tjandra. Tapi masa itu katakanlan sudah berakhir. Sekarang kita kembalikanlah ke ruh KUHAP. PK disiapkan untuk terpidana atau ahli warisnya.
 
Saya juga termasuk yang tak setuju putusan MK yang memberi kemungkinan PK berkali-kali. Putusan itu sepertinya politis juga karena yang mengajukan Pak AA dimana Pak AA mungkin menurut sebagian hakim MK teraniaya tetapi dia tidak punya upaya hukum lain lagi. Sehingga pertimbangannya juga menurut saya tidak murni normatif konstitusional karena putusan itu melampaui batas dari apa yang diminta. Pak AA hanya meminta agar PK yang diajukan karena alat teknologi baru dimungkinkan, lalu MK menyatakan PK bisa diajukan berkali-kali. Menurut saya di situ blunder. Makanya ke depan kita harapkan MK juga lebih dewasa dalam mengambil keputusan. MA juga dalam menjalankan perannya juga tidak perlu merasa didikte oleh MK. MK kan pada dasarnya negative legislator. Kalau ada perubahan akibat putusan MK, lihatlah itu sebagai perubahan peraturan perundang-undangan. Selama ini kan MA tidak pernah merasa didikte oleh DPR walaupun DPR (dan Pemerintah—red)yang bikin Undang-Undang. Tapi kok kalau MK yang bikin putusan seolah-olah MA merasa didikte. Menurut saya perlu kedewasaanlah.
 
Apakah rumusan Pasal 263 ayat (1) perlu diubah dalam RUU  KUHAP?
Menurut saya tidak perlu diubah. Normanya sudah cukup jelas. Praktik peradilannya yang menyimpang, yang menyebabkan norma itu bisa ditafsirkan macam-macam. Terus terang saya agak kaget juga permohonan itu dikabulkan. Pemohonnya sudah ketemu saya meminta saya jadi ahli saya menolak karena menurut saya tidak ada kesalahan norma. Normanya sudah benar. Praktiknya yang keliru. Lalu, MK juga tidak memberi kesempatan kepada pemohon dan pemerintah untuk mengajukan ahli. Tapi langsung diputus. Bayangan saya akan ditolak, ternyata dikabulkan. Ini sesuatu yang positif dari substansi putusannya. Cuma, jangan menjadi preseden seolah-olah suatu norma itu menjadi jelas kalau sudah diputus MK. Kalau undang-undangnya sudah jelas, jangan ditafsirkan macam-macam.


Copyright © 2012 hukumonline.com, All Rights Reserved

Monday, December 15, 2014

“Utak Atik” Kewenangan Pencabutan Hak Remisi dan PB

Pencabutan hak remisi dianggap tidak sesuai falsafah pemasyarakatan. Kewenangan pencabutan hak remisi ingin dialihkan kepada hakim.


“Utak Atik” Kewenangan Pencabutan Hak Remisi dan PB
Tak butuh waktu lama bagi “kabinet kerja” Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk menggelar seremonial di kementeriannya masing-masing. Jokowi memerintahkan semua menterinya segera bekerja, tidak terkecuali Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusian (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly.
Sehari setelah serah terima jabatan, Yasonna langsung menggelar rapat dengan jajaran eselon satu di Kemenkumham. Doktor di bidang kriminologi ini ingin memetakan sejumlah permasalahan di kementeriannya. Salah satu yang menjadi perhatian Yasonna adalah masalah pemenuhan hak-hak terpidana atau warga binaan.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) kerap menjadi bulan-bulanan ketika memberikan remisi atau pembebasan bersyarat kepada warga binaan. Apalagi jika remisi atau pembebasan bersyarat tersebut diberikan kepada warga binaan yang merupakan terpidana korupsi atau extraordinary crime lainnya.
Terhitung sejak Januari hingga Agustus 2014, terdapat 75.147 warga binaan yang keluar/bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Sebanyak 26.809 narapidana mendapatkan program pembebasan bersyarat (PB), cuti Bersyarat (CB), dan cuti menjelang bebas (CMB). Sementara, 5 persen narapidana bebas dengan remisi.
Perbandingan Penghuni yang Masuk dan Keluar Lapas
Tahun
Masuk
Keluar
2012
108.807
41.225
2013
135.826
90.795
2014 (akhir Agustus)
88.662
75.147

Perbandingan Jumlah Penghuni Keluar/Bebas
Tahun
Bebas Murni
Bebas Remisi
PB/CB/CMB
Total
2012
5.109 (12%)
3.165 (8%)
32.951 (80%)
41.225
2013
38.216 (42%)
3.221 (4%)
49.358 (54%)
90.795
2014
44.133 (59%)
4.205 (5%)
26.809 (36%)
75.147
Sumber : Ditjen PAS
 
Berangkat dari fenomena itu, Yasonna ingin meluruskan persepsi masyarakat dalam memandang hak-hak warga binaan. Pasalnya, di satu sisi, Kementerian yang ia nahkodai adalah Kementerian yang mengurusi permasalahan hukum, tetapi di sisi lain Kementerian ini juga harus menghormati hak asasi warga binaan.
Menurut Yasonna, sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, Ditjen PAS memiliki falsafah yang sedikit berbeda dengan penegak hukum. Ditjen PAS memandang pemidanaan bukan sebagai pemenjaraan melainkan upaya pembinaan narapidana agar kelak dapat kembali ke masyarakat sebagai manusia yang lebih baik.
“Sudah saatnya kita meletakan porsi-porsi itu secara benar. Menjadi sangat ironi, Kementerian ini adalah Kementerian Hukum dan HAM, kalau pada saat yang sama di dalam pengelolaan lembaga pemasyarakatan tidak menempatkan atau menghargai hak-hak asasi dari para warga binaan yang ada di sana,” katanya.
Untuk itu, Yasonna merasa perlu adanya pembenahan jika ingin mengurangi hak-hak warga binaan. Sesuai falsafah pemasyarakatan, Ditjen PAS tidak boleh mengurangi hak-hak warga binaan. Ditjen PAS bertugas melakukan pembinaan terhadap narapidana. Justru ujung dari pemberian hukuman berada di tangan hakim.
Sebagaimana diketahui, di era kepemimpinan Menkumham Amir Syamsuddin, telah terbit sejumlah kebijakan mengenai pengetatan hak-hak warga binaan. Beberapa diantaranya, Permenkumham No.21 dan Surat Edaran Menkumham No.M.HH-13.PK.01.05.06 Tahun 2014 tentang pelaksanaan PP No.99 Tahun 2012.
Bahkan, Amir bersama Wamenkumham Denny Indrayana menginisiasi terbitnya PP No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP No.32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP itu memberikan pengetatan syarat bagi warga binaan kejahatan terorganisir, seperti korupsi.
Akibat pengetatan tersebut, Ditjen PAS kerap menjadi sasaran empuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan para pegiat anti korupsi. Tengok saja ketika terpidana kasus korupsi Hartati Murdaya mendapatkan pembebasan bersyarat. Permasalahan ini sempat memantik ketidaksepahaman antara kedua lembaga.
Dengan demikian, Yasonna membuat suatu “gebrakan” dengan mewacanakan agar pencabutan atau pengurangan hak-hak terpidana tidak lagi menjadi domain Kemenkumham, melainkan lembaga yudikatif. Hal itu dilakukan demi mengembalikan marwah pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan narapidana.
“Misalnya hakim membuat putusan sekian puluh tahun tanpa hak remisi. Jangan nanti Kemenkumham yang menjadi sorotan. Masing-masing lembaga punya tupoksi. Kan hakim yang menghukum. Kami nanti akan membuat satu pertemuan dengan Mahkamah Agung untuk membuat suatu kebijakan bersama,” ujarnya.
Lempar tanggung jawab
Walau begitu, Yasonna membantah jika dianggap melempar tanggung jawab kepada Mahkamah Agung. Ia menjelaskan, penjatuhan hukuman ada di tangan hakim, sedangkan Ditjen PAS bertugas membina para narapidana. Jadi, apabila ingin mengurangi hak narapidana, pengurangan hak itu dituangkan dalam putusan hakim.
Senada, mantan Menkumham Andi Matalatta juga berpendapat bahwa yang berhak mengurangi atau mencabut hak-hak warga binaan hanya hakim, undang-undang, dan kelakuan warga binaan itu sendiri. Ia menganggap lembaga pemasyarakatan memiliki filosofi yang berbeda dengan penegak hukum.
Jika, Kepolisian memiliki asas presumption of guilt, sehingga mencari bukti atas ada atau tidaknya suatu tindak pidana untuk dilimpahkan ke Kejaksaan dan kemudian diuji di pengadilan, lembaga pemasyarakatan bertugas melakukan pembinaan terhadap narapidana yang telah dijatuhi putusan oleh pengadilan.
Sesuai UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, para warga binaan memiliki hak untuk mendapatkan remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat. Andaikata hak-hak warga binaan itu ingin dihilangkan, lanjut Andi, tentu bukan Menkumham yang memutuskan, tetapi harus melalui putusan hakim.
“Jadi, kalau memang mau menghilangkan hak-hak narapidana dalam bentuk remisi, pembebasan bersyarat, hakim itu punya hak. Ini harus disosialisasikan kepada rakyat bahwa memang falsafah pemasyarakatan itu berbeda. Walaupun mungkin ini tidak populer karena pikiran orang kan penjahat itu harus dihukum,” tuturnya.
Pidana tambahan
Untuk mencari titik temu wacana tersebut, Yasonna berencana melakukan pembahasan dengan Mahkamah Agung (MA). Ia melihat adanya kemungkinan untuk menerapkan wacana itu dengan mencantumkan pencabutan hak mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat sebagai pidana tambahan dalam putusan hakim.
Namun, menurut Kabiro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur, praktik penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak remisi atau pembebasan bersyarat hingga kini belum pernah ada. Pidana tambahan yang biasa dijatuhkan hakim adalah pencabutan hak-hak tertentu untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.
Ridwan menjelaskan, kewenangan remisi atau pembebasan bersyarat merupakan kewenangan lembaga eksekutif. Ketentuan itu diatur tersendiri dalam UU Pemasyarakatan. Apabila mau melihat apakah pencabutan hak remisi masuk dalam klasifikasi hak-hak tertentu, tentu perlu memerlukan kajian secara mendalam.
“Tapi, kan hakim punya diskresi-diskresi dalam menjatuhkan pemidanaan. Jangankan mencabut hak tertentu, ibaratnya mencabut nyawa saja bisa dalam hal pidana mati. Ada juga pidana tambahan seperti menjaga jarak tertentu kepada pihak korban dalam hal kejahatan terhadap perempuan,” katanya kepada hukumonline.
Ridwan berpendapat, untuk memulai wacana itu, idealnya Menkumham juga berkoordinasi dengan Kejaksaan. Pasalnya, penjatuhan putusan didahului dengan surat tuntutan jaksa. Jika jaksa juga mencantumkan pencabutan hak remisi atau pembebasan bersyarat dalam tuntutannya, mungkin hakim bisa mempertimbangkan.
“Misalnya jaksa menuntut untuk tidak diberikan remisi dalam perkara extraordinary crime, seperti korupsi, terorisme, atau pelanggaran HAM berat. Pengadilan kan biasanya lama-lama mengerucut menjadi yurisprudensi. Artinya silakan saja kalau ada jaksa yang punya nyali membuat penerapan baru di dalam tuntutannnya,” ujarnya.
Kendati demikian, Ridwan memahami ekspektasi masyarakat terhadap pemidanaan terpidana korupsi maupun kejahatan luar biasa lainnya. Ia juga menganggap wacana patut dipertimbangkan, mengingat Kemenkumham sering menjadi bulan-bulanan karena masyarakat memandang terpidana korupsi tidak layak diberikan remisi.
Masyarakat menganggap remisi atau pembebasan bersyarat itu tidak adil. Apalagi banyak terpidana dalam perkara-perkara khusus yang semestinya menjalani hukuman puluhan tahun, tetapi sekian tahun sudah keluar karena mendapat remisi. Malahan terkadang, setahun terpidana tersebut bisa mendapatkan beberapa remisi.
Perubahan UU
Mantan Ketua Kamar Pidana Khusus MA Djoko Sarwoko mengatakan, sebenarnya wacana Menkumham sangat progresif. Namun, ia berpendapat, tidak mudah merealisasikan wacana tersebut dalam waktu singkat. Perlu ada perubahan undang-undang sebagai cantelan bagi hakim untuk mengakomodir pidana tambahan itu dalam putusan.
Djoko menjelaskan, lembaga yudikatif memiliki kewenangan untuk menjatuhkan pemidanaan. Adapun klasifikasi pidana tambahan sudah diatur dalam KUHP dan UU lain yang memuat jenis pidana tambahan. Sementara, remisi merupakan memiliki sumber hukum yang berbeda, yaitu UU Pemasyarakatan.
Sesuai Pasal 10 KUHP, ada tiga jenis pidana tambahan yang dapat dijatuhkan hakim dalam putusan pemidanaan. Pertama, pencabutan hak-hak tertentu, kedua perampasang barang-barang tertentu, dan ketiga pengumuman putusan hakim. KUHP juga mengatur beberapa macam hak terpidana yang dapat dicabut hakim.
Berdasarkan Pasal 35 KUHP, hakim dapat mencabut hak-hak terpidana, seperti hak memegang jabatan umum atau jabatan tertentu, hak memasuki angkatan bersenjata, hak memilih dan dipilih dalam pemilihan, hak menjadi penasihat hukum atau pengurus, hak menjadi wali atau pengampu, serta hak untuk menjalankan mata pencaharian tertentu.
“Nah, kalau (pencabutan hak remisi/pembebasan bersyarat) mau dimasukan dalam putusan hakim, dasarnya agak sulit karena remisi kewenangan eksekutif. Jadi, saya kira semestinya UU-nya diubah dulu dan mau dimasukan di bagian mana? Kalau mau dimasukan dalam semua UU, berarti UU Tipikor, TPPU, semua harus masuk,” tuturnya.
Djoko menerangkan, ada pemisahan yang jelas antara lingkup kewenangan yudikatif dan eksekutif. Hakim menjatuhkan hukuman dalam rangka pro yustisia, sedangkan pemasyarakatan memberikan pembinaan terhadap terpidana dan bukan lagi di bawah pro yustisia. Remisi sendiri merupakan pengurangan masa hukuman.
Oleh karena itu, Djoko menilai agak sulit untuk menyatukan dua lingkup kewenangan itu dalam suatu putusan hakim. Walau begitu, ia sependapat dengan pandangan yang menyebutkan hanya hakim dan UU yang dapat mengurangi atau mencabut hak seseorang. Namun, pencabutan hak tersebut harus dilakukan berdasarkan undang-undang.
Dengan demikian, Djoko berpandangan, perubahan UU harus dilakukan terlebih dahulu supaya tidak ada hukum yang dilanggar. Revisi UU diperlukan agar hakim memiliki payung hukum untuk memberikan pidana tambahan berupa pencabutan hak remisi atau pembebasan bersyarat dalam putusannya.
“Misalnya, dimasukan ke dalam UU yang mengatur kejahatan serius, sprti terorisme dan korupsi. Itu kan publik sudah tau bahwa untuk kejahatan seperti itu tidak layak diberikan remisi. Itu nanti dalam UU-nya harus jelas, tindak pidana apa saja yang diberikan remisi dan tidak. Jadi, banyak sekali perubahan UU yang harus disesuaikan,” tandasnya.

Monday, September 8, 2014

Eutanasia Bertentangan dengan UUD 1945, HAM, dan Pancasila Oleh: Muhammad Aris Marasabessy, SH, MH *)

UUD 1945 tidak mengatur tentang legalitas hak manusia untuk mati.

Di balik hiruk pikuk pemilihan presiden, masyarakat Indonesia dikagetkan dengan pemberitaan seorang pria bernama Ryan Tumiwa mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Intinya, Ryan berharap MK menghapus ketentuan Pasal 334 KUHP dikarenakan pasal tersebut menghalangi hak konstitusinya untuk meminta Eutanasia

Eutanasia dalam Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan θάνατος, thanatos yang berarti kematian. Arti lengkapnya, Eutanasia adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia)

Sungguh Ironis memang apalagi melihat dari alasan-alasan pokok diajukannya permohonan dari Ryan Tumiwa. Di dalam permohonannya, Ryan Tumiwa mengatakan bahwa dia telah frustasi terhadap hidupnya yang telah bertahun-tahun sampai dengan saat ini tidak mempunyai pekerjaan, dan bahkan Ryan Tumiwa-pun merasa tidak pernah diperhatikan oleh saudara-saudaranya sendiri.

Apabila melihat dari strata pendidikan formal Ryan Tumiwa saat ini maka sebenarnya tingkat pendidikannya terbilang cukup tinggi. Ryan Tumiwa adalah lulusan S2 (starta dua) pada salah satu universitas terbaik di Indonesia sehingga sungguh sangat mengagetkan apabila sampai dengan saat ini Ryan Tumiwa frustasi karena belum mendapatkan pekerjaan.

Tulisan ini pada pokoknya bukan untuk menceritakan hal-hal terkait dengan Ryan Tumiwa. Tulisan ini akan meninjau sisi legalitas dari Eutanasia. Apakah terdapat hal-hal yang bertentangan terkait pemberlakuan Eutanasia baik itu dari segi ketentuan dasar negara, hak asasi manusia dan juga ideologi bangsa.

A. Tentang Hukumnya
Sebenarnya permasalahan Eutanasia ini sangatlah istimewa karena menyangkut dengan berbagai macam aspek, baik itu aspek agama, moral, medis maupun hukum. Oleh karenanya, sampai dengan saat ini permasalahan Eutanasia masih menimbulkan pro dan kontra. Beberapa kelompok sangat mendukung untuk melegalkan Eutanasia dengan alasan untuk menghentikan penderitaan dari pasien. Beberapa kelompok lain menolak dengan tegas Eutanasia diberlakukan dengan alasan bahwa kematian adalah hak dari Tuhan sehingga manusia tidak mempunyai hak apa-apa untuk itu.

Sebelum kita membahas lebih lajut tentang Eutanasia, mari terlebih dahulu melihat pengertian dari kematian/meninggal dunia. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf g PP No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia,menyebutkan bahwa pengertian dari “meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yangberwenang bahwa fungsi otak, pernafasan,dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Sebagai catatan, definisi meninggal dunia ini adalah definisi yang sampai dengan saat ini masih berlaku di Indonesia.

Dari ketentuan tersebut di atas, secara gramatikal dapat dikatakan bahwa berhentinya kehidupan seorang manusia secara permanen, dimana seluruh dari fungsi oragan yang disebutkan dalam ketentuan tersebut telah berhenti secara sempurna dan tidak mempunyai harapan untuk difungsikan kembali pada tubuh dari manusia tersebut.

Eutanasia itu sendiri pada dasarnya bukan merupakan istilah hukum. Namun, Eutanasia telah diatur secara jelas dalam ketentuan hukum di Indonesia, yang pada dasarnya permasalahan Eutanasia adalah suatu praktik yang bertentangan dengan ketentuan hukum di Indonesia, dalam hal ini ketentuan Pasal 344 KUHP.

Pasal 344 KUHP
“Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun.”

Berdasarkan Pasal 344, maka jelas Eutanasia merupakan sebuah tindakan yang tidak dapat dilegalkan di Indonesia walaupun pada kenyataannya beberapa negara di dunia  telah melegalkan Eutanasia.

Sebagai contoh di Belanda, Eutanasia telah dilegalkan pada tanggal 29 November 2000. Parlemen Belanda telah menyetujui undang-undang yang melegalkan Eutanasia dengan mempertimbangkan bahwa permasalahan terkait dengan Eutanasia hanya berlaku kepada kepada dokter dan tidak berlaku kepada pihak-pihak di luar dari profesi medis. Pelaksanaan Eutanasia harus memenuhi beberapa syarat antara lain adalah calon pasien yang menginginkan Eutanasia harus mengajukan permohonan secara pribadi dan berkali-kali, serta dokter yang menangani permasalahan pasien tersebut harus benar-benar yakin bahwa pasien yang meminta untuk di Eutanasia mengalami penderitaan yang luar biasa.

B. Eutanasia Bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai Ideologi Negara
Seperti yang telah jelaskan di atas terkait dengan permasalahan permohonan dari Ryan Tumiwa maka sangat menarik apabila kita membahas tentang apakah terdapat pertentangan antara ketentuan 344 KUHP dengan UUD 1945.

Dalam UUD 1945 Pasal 28 huruf a menyatakan bahwa
“setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya”

Kemudian dalam ketentuan pasal Pasal 28 huruf g menyatakan bahwa:
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. “

Bahwa dengan melihat substansi dan isi dari pasal-pasal yang telah disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa pasal-pasal tersebut adalah pasal yang terkait erat dengan prinsip HAM. Bahwa setiap manusia berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya dengan didukung oleh perlindungan baik terhadap dirinya maupun orang-orang yang di sekitar hidupnya. Perlindungan yang dimaksud disini adalah perlindungan dari masyarakat, aparatur negara maupun pihak-pihak yang terkait dengan manusia tersebut.

Lebih lanjut, kematian yang diakibatkan oleh sebuah tindakan secara sengaja oleh orang lain justru merupakan bentuk pelanggaran ketentuan-ketentuan UUD tersebut di atas dan bahkan merupakan pelanggaran terhadap HAM.

Satu hal yang perlu dipahami dari ketentuan-ketentuan UUD 1945 terkait dengan permasalahan tersebut adalah setiap warga negara Repubilk Indonesia mempunyai hak untuk hidup dan dilindungi, sehingga dapat disimpulkan secara tersirat bahwa Eutanasia tidak dapat diberlakukan di Indonesia. Dan bahkan, apabila kita cermati dan menelusuri pasal demi pasal yang terdapat dalam UUD 1945 maka kita tidak akan pernah menemukan satu pasal pun yang menyebutkan atau mengatur tentang legalitas hak manusia untuk mati.

Selanjutnya Bahwa Ketentuan UUD 1945 adalah implementasi dari Pancasila, yaitu lima sila dasar pembentukan negara ini, sehingga hal-hal yang termuat dalam UUD 1945 adalah cerminan dari Kesaktian Pancasila. Pancasila merupakan sebuah ideologi dalam pembentukan negara ini sehingga adalah tepat jika hal-hal yang terkait dengan ketentuan-ketentuan hukum harus berlandaskan pada semangat Pancasila.

Sila Pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mempunyai makna terdapatnya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang telah meciptakan alam beserta dengan isinya.
        
Terkait dengan Eutanasia sendiri, apabila dihubungkan dengan filosofi dari pada Sila Pertama Pancasila, maka pemberlakuan Eutanasia di Indonesia adalah suatu hal yang sangat bertentangan kodrat dan nilai-nilai luhur dari berbagai macam ajaran agama yang berlaku di Indonesia.

C. Kesimpulan
Salah satu hak manusia yang sangat mendasar adalah hak untuk hidup dan bukan hak untuk mati sehingga adalah tidak tepat apabila Indonesia memberikan izin pemberlakuan Eutanasia dengan menghapus ketentuan Pasal 344 KUHP.

Dengan segala argumentasinya, maka telah jelas dan berdasar bahwa Eutanasia merupakan sebuah tindakan yang sangat bertentangan dengan UUD 1945, HAM dan juga bertentangan dengan Ideologi Pancasila yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari ajaran masing-masing agama yang telah diakui.

Menteri Agama: Sulit jika Nikah Beda Agama Dilegalisasi

JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin angkat bicara soal gugatan uji materi atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengatur tentang syarat pernikahan. Menurut dia, keinginan agar pernikahan berbeda agama dilegalkan di Indonesia sangat sulit direalisasikan.
"Masyarakat Indonesia sangat religius, sangat menjunjung tinggi nilai agama. Di negara mana pun, pernikahan adalah sesuatu yang sakral, dan ritual pernikahan tidak bisa lepas dari nilai-nilai religiositas dari yang menjalani," ucap Lukman saat dihubungi, Kamis (4/9/2014) malam.
Lukman mengatakan, apabila pernikahan beda agama dilegalkan, maka masalah lain yang akan muncul pun tak kalah sulitnya.
"Ketika menikah beda agama, maka pakai agama yang mana? Apakah laki-laki atau perempuan? Ini jadi persoalan," ucap dia.
Setiap agama, kata Lukman, meyakini bahwa aturan yang diterapkannya adalah yang terbaik. Oleh karena itu, sangat sulit untuk menyatukan cara pandang antar-agama.
"Fondasi suatu pernikahan berbeda karena cara pandang setiap agama berbeda. Itulah kenapa alasannya perkawinan beda agama tidak ditoleransi," ucap politisi PPP itu.
Sebelumnya, mahasiswa dan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengajukan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 ke MK. Pasal tersebut berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu."
Salah satu pemohon uji materi, Anbar Jayadi, berpendapat, biarkan masyarakat yang memutuskan berdasarkan hati nurani dan keyakinannya apakah mereka mengikuti atau tidak mengikuti ajaran agama dan kepercayaan yang mereka anut. (Baca: Mengapa Pernikahan Beda Agama Digugat ke MK?)

Thursday, June 19, 2014

Machiavelli...



Politik Machiavelli aksi keji dan tidak bermoral tanpa terimakasih pada sang majikan yang membantu membesarkannya lalu janji tinggal janji dibuang kesampah busuk utk kekuasaannya.

Politik Machiavelli dibungkus opini pencitraan layaknya berhala suci utk memenangkan Pilpres yg dikatakan terpuji.

Politik Machiavelli dikawal ajing2x sudah terlatih berkalung bintang yang siap menggonggong kuat dan kalau perlu menggigit serta mencakar utk melindungi berhala suci yang dibuat dari opini.

Politik Machiavelli dgn aksi blusukan diberi bumbu citra rasa tinggi aroma wangi tanpa ikatan idiologis pencerahan tapi agar memuja dan berikan hak suara untuk hawa nafsu kekuasaan.

Politik Machiavelli dgn aksi blusukan atas nama kemanusian tetapi kering makna tentu saja karena hasrat berkuasa adalah abadi dalam dirinya #^0^#

Friday, April 25, 2014

Golongan Bingung Menanti Revolusi

(Catatan Pengantar Pilpres 2014)
Oleh: Zulham Mubarak/ @zvlham
 Rakyat Indonesia sedang Jumud.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akar kata jumud dapat disandarkan pada kata lumpuh, stagnan, mandeg, dan statis. Jumud erat berkaitan dengan sensasi indera yang membentuk persepsi terhadap sesuatu. Bangsa ini jumud karena terjebak dalam drama demokrasi yang coreng moreng hasil bentukan oknum politisi zondernurani.
J. Barents dalam Ilmu Politika menjabarkan De wetenschap der politiek is de wetenschapdie het leven van de staat bestudeert…een maatschappelijk leven..waarvan de staat een onderdeel vormt. Dapat dimaknai bahwa ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Politik adalah udara bagi kelangsungan kehidupan masyarakat. Naiknya suhu politik ikut mempengaruhi psikologis rakyat. Makin terik suhu politik, makin labil kesehatan bangsa. Tengoklah miniatur negeri yang terjadi di ruang-ruang publik. Sikap intoleran melanda. Yang wajib dilindungi seperti anak-anak, perempuan, ibu hamil, dan penyandang disabilitas seringkali menjadi objek tertindas ketika nurani dan akal sehat hilang. Iklim politik yang tak kunjung stabil mendesak segala parameter sehat-sakitnya bangsa hingga titik nadir. Gaya hidup masyarakat kini makin minus.
Suhu politik makin terik ketika rakyat jenuh dengan parpol. Itu adalah dampak kecenderungan oknum partai yang ketika menjadi governing party justru menjalankan negara secara oportunistis demi keuntungan pribadi.
Harapan akan datang perubahan pasca regenerasi politisi muda juga kandas. Rakyat menyaksikan sebuah generasi politisi muda hancur lebur digilas kasus korupsi. Salah satu episode yang mengenaskan ketika Anas Urbaningrum yang menjadi ikon kebangkitan politisi muda telah menjadi bagian dari kleptokrasi. Jaringan lobi terkuat dan lintas partai yang dimotori Anas melalui KAHMI ambruk sudah.
Menyusul Anas, sederet politisi muda ikut terjerat dalam dinamika kerasnya jegal-menjegal. Seakan ada upaya sistemik untuk meredam jaringan politisi muda yang bergerak cair ibarat bola liar tanpa etika politik. Dan panggung kembali dikuasai politisi lawas seperti Megawati, Amien Rais, Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, dan Wiranto.
Situasi yang tidak menguntungkan berlanjut. Gagalnya regenerasi parpol mengorbankan kepercayaan rakyat. Pilihan tiga nama capres yang mengerucut pasca pileg juga tak mampu memenuhi ekspektasi publik. Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Aburizal Bakrie maju dengan rapor merahnya masing-masing.
Jokowi menjadi media darling dengan konsep pencitraan ala SBY yang dimodifikasi. Pengusaha dan kemudian Walikota Solo itu dicitrakan sebagai sosok pekerja yang menawarkan birokrasi ramah dan progressif. Kehadirannya di ruang publik semata-mata menjadi eskapasi kerinduan rakyat akan pemimpin yang bekerja, bukan yang sekedar berpidato. Walau pada akhirnya jika dicermati kepemimpinan Jokowi juga tak banyak menghasilkan kebijakan utuh yang prima dan langgeng. Akhirnya, program blusukan yang digoreng konsultan timses Jokowi, Stan Greenberg, tak mampu meyakinkan masyarakat luas. Jokowi effect pun ditinjau ulang.
Kini langkah Jokowi dihadang tsunami kampanye negatif tentang PDIP yang memiliki rapor buruk ketika berkuasa. Di era Presiden Megawati sejumlah aset negara tergadaikan ke asing dengan dalih menjaga stabilitas perekonomian. Antara lain, Indosat, Telkomsel, BCA, Bank Danamon, Bank Internasional Indonesia, penjualan kapal tanker VLCC pertamina dan penjualan gas murah ke Tiongkok. Belum lagi kegagalan meredam jerat kasus BLBI dan hingga kini negara berhutang ribuan triliun rupiah kepada IMF.  Setiap tahun pemerintah harus membayar bunga obligasi sebesar Rp 60 triliun kepada IMF hingga 2033 mendatang.
Publik pun mulai bertanya-tanya, akankah Jokowi mampu melawan kepentingan partai dan kepentingan pembisik sang ketua umum partai ketika kelak menjadi presiden? Membaca bahwa hadirnya Jokowi di tubuh PDIP tidak berangkat dari proses kaderisasi dan karier politik yang stabil, rakyat khawatir hal yang sama seperti ketika Megawati menjabat akan terulang.
Kandidat capres kedua, Prabowo Subianto juga terjebak dalam pusaran citra negatif. Mantan Danjen Kopassus itu tak pernah benar-benar bebas dari jerat masa lalunya yang kelam. Prabowo lekat dikaitkan dengan kasus penculikan aktivis pada 1997-1998 yang tidak kunjung tuntas. Satu orang terbunuh, 11 orang disiksa, 12 orang dianiaya, 23 orang dihilangkan secara paksa, 19 orang dirampas kemerdekaan fisiknya secara sewenang-wenang.
Dari 23 orang yang dihilangkan paksa, 13 orang belum diketahui keberadaannya. Mereka antara lain, Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser.
Putra begawan perekonomian, Soemitro Djojohadikusumo itu dituding terlibat dalam beberapa aksi pelanggaran HAM di Timor Timur (Timor Leste). Masa lalunya sebagai mantan menantu Presiden Soeharto, perceraiannya dengan Titik Soeharto, kehidupan pribadinya yang hingga kini masih menduda, ditambah derasnya penolakan dari kalangan etnis Tiongkok mengganjal mulusnya langkah Prabowo menuju istana.
Aburizal Bakrie juga punya catatan buruk soal semburan lumpur panas Sidoarjo alias lumpur Lapindo. Komitmen ganti rugi yang hingga kini tak juga tuntas tentu mengurangi elektabilitas. Mantan salah satu orang terkaya di Asia Tenggara itu dicitrakan media sebagai pengusaha dengan reputasi yang kurang baik dalam hal komitmen terhadap negara. Salah satunya terkait persoalan pajak yang membelit beberapa perusahaan Group Bakrie. Diantaranya adalah PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources, dan PT Arutmin yang sempat menunggak pajak hingga triliunan rupiah.
Padahal jamak diketahui bahwa taat pajak adalah bagian dari komitmen warga negara yang mendukung tegaknya perekonomian nasional. Elektabilitasnya kian tergerus ketika muncul video pribadina sedang berlibur bersama dua orang artis dan seorang politisi di Kepulauan Maladewa. Dukungan internal yang setengah hati dan faktor popularitas ARB kian mengganjal pencapresannya.
Stagnasi politik saat ini mirip dengan apa yang terjadi pada 1997-1998. Yang membedakan, kali ini stagnasi politik hanya akan berdampak pada skeptisme dan tingginya angka golput. Menurut saya, yang memiliki kemampuan untuk memecah kebuntuan dan virus jumud ini adalah tiga kandidat capres tersebut. Dalam era frustasi politik ini masing-masing capres harus pandai menakar dan menganalisa kemauan rakyat.
Rakyat memiliki kecenderungan melankolik dan melodramatik. Harus ada figur pahlawan yang teraniaya di awal dan menang secara ksatria di akhir cerita. Tapi jangan main-main dengan kemampuan publik menakar mana yang asli dan mana yang polesan. Zaman telah bergeser. Publik benar-benar rindu pemimpin yang tulus dan berani membuka borok dan dosa politiknya secara terbuka. Capres harus berani menyampaikan permintaan maaf atas apa yang terjadi di masa lalu. Mengutip Mahatma Gandhi, sebuah kesalahan tidak akan pernah menjadi kebenaran walaupun telah jamak diketahui publik luas, tak juga kebenaran akan menjadi kesalahan karena tak ada satupun yang melihatnya. Publik akan sangat mengapresiasi upaya meminta maaf atas kepalsuan yang selama ini disodorkan paksa di ruang-ruang bebas sembari secara terbuka berbagi ide tentang visi Indonesia di masa depan.
Meminjam istilah Lucius Annaeus  Seneca, ini adalah era distringit librorum multitudo yang diterjemahkan bebas sebagai era banjir informasi yang mendistraksi. Maka jangan harap anda akan menemukan rakyat yang kurang informasi. Rakyat makin cerdas dan paham bahwa negara ini tidak butuh figur polesan olah digital dengan konsep tangan menggepal memukul udara, senyum terbaik, dan pose yang dibuat-buat. Sosok rekayasa hasil olah tata cahaya rumit yang mengesankan wibawa sebaiknya disimpan saja di buku cerita anak. Rakyat rindu manusia utuh yang dilengkapi emosi, tangis, dan kesalahan. Rakyat yang sedang dilanda frustasi politik menanti pembuktian dan benci dengan janji palsu.
Bila kontrak politik capres adalah sebuah upaya membuktikan komitmen, maka tidak ada salahnya dicoba. Bahkan, self punishment yang dipublikasikan luas sebagai komitmen ketika gagal mencapai target setelah duduk di kursi presiden masih menjadi komoditas yang disukai publik. Indonesia menanti pemimpin yang membumi dan berani menghadapi setumpuk masalah bangsa. Yang faktanya, belum terwakili dengan kehadiran tiga nama kandidat tersebut.
Bangsa ini sudah muak dengan politisi yang waktunya tersita untuk memikirkan pemilu selanjutnya. Bangsa ini rindu hadirnya negarawan yang merelakan diri memikirkan generasi selanjutnya dan masa depan bangsa, bukan sekedar membidik kekuasaan dengan tamak dan rakus.
Sebagai penutup, besar kemungkinan pemilu kali ini akan berlangsung aman dan seorang kandidat akan terpilih dengan proses yang normatif. Tapi saya yakin, tanpa terobosan kreatif, angka golput akan bertambah. Mereka yang skeptis dan apatis akan mengisi ruang kosong demokrasi. Maka, kondisi frustasi politik ini akan terus berlangsung. Hingga entah pada suatu saat di masa depan kelak revolusi akan benar terjadi.
Lalu sebaiknya para capres mulai menakar niat dan bertanya serius pada diri. Akankah tersisa negeri ini kelak bagi anak-cucu kita? Berapa lama waktu tersisa sebelum Indonesia yang makmur hanya dongeng bagi anak-cucu kita di masa depan?

*) Penulis adalah mantan jurnalis, penulis buku dan kini menjadi buruh harian lepas.

Sengkuni dan Kresna


Hal inilah yang kemudian mendorong para politisi atau beberapa orang yang memiliki kepentingan politik, untuk memberi stigma “Sengkuni” pada lawan-lawan politiknya. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasikan musuhnya sebagai “kubu hitam” atau kubu jahat yang harus dimusnahkan. Padahal Kresna, sebenarnya juga kurang lebih sama liciknya dengan Sengkuni.