Kritik & saran positif silakan di email abd.kholik99@gmail.com / abd.kholik67@yahoo.com

Monday, December 15, 2014

“Utak Atik” Kewenangan Pencabutan Hak Remisi dan PB

Pencabutan hak remisi dianggap tidak sesuai falsafah pemasyarakatan. Kewenangan pencabutan hak remisi ingin dialihkan kepada hakim.


“Utak Atik” Kewenangan Pencabutan Hak Remisi dan PB
Tak butuh waktu lama bagi “kabinet kerja” Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk menggelar seremonial di kementeriannya masing-masing. Jokowi memerintahkan semua menterinya segera bekerja, tidak terkecuali Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusian (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly.
Sehari setelah serah terima jabatan, Yasonna langsung menggelar rapat dengan jajaran eselon satu di Kemenkumham. Doktor di bidang kriminologi ini ingin memetakan sejumlah permasalahan di kementeriannya. Salah satu yang menjadi perhatian Yasonna adalah masalah pemenuhan hak-hak terpidana atau warga binaan.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) kerap menjadi bulan-bulanan ketika memberikan remisi atau pembebasan bersyarat kepada warga binaan. Apalagi jika remisi atau pembebasan bersyarat tersebut diberikan kepada warga binaan yang merupakan terpidana korupsi atau extraordinary crime lainnya.
Terhitung sejak Januari hingga Agustus 2014, terdapat 75.147 warga binaan yang keluar/bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Sebanyak 26.809 narapidana mendapatkan program pembebasan bersyarat (PB), cuti Bersyarat (CB), dan cuti menjelang bebas (CMB). Sementara, 5 persen narapidana bebas dengan remisi.
Perbandingan Penghuni yang Masuk dan Keluar Lapas
Tahun
Masuk
Keluar
2012
108.807
41.225
2013
135.826
90.795
2014 (akhir Agustus)
88.662
75.147

Perbandingan Jumlah Penghuni Keluar/Bebas
Tahun
Bebas Murni
Bebas Remisi
PB/CB/CMB
Total
2012
5.109 (12%)
3.165 (8%)
32.951 (80%)
41.225
2013
38.216 (42%)
3.221 (4%)
49.358 (54%)
90.795
2014
44.133 (59%)
4.205 (5%)
26.809 (36%)
75.147
Sumber : Ditjen PAS
 
Berangkat dari fenomena itu, Yasonna ingin meluruskan persepsi masyarakat dalam memandang hak-hak warga binaan. Pasalnya, di satu sisi, Kementerian yang ia nahkodai adalah Kementerian yang mengurusi permasalahan hukum, tetapi di sisi lain Kementerian ini juga harus menghormati hak asasi warga binaan.
Menurut Yasonna, sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, Ditjen PAS memiliki falsafah yang sedikit berbeda dengan penegak hukum. Ditjen PAS memandang pemidanaan bukan sebagai pemenjaraan melainkan upaya pembinaan narapidana agar kelak dapat kembali ke masyarakat sebagai manusia yang lebih baik.
“Sudah saatnya kita meletakan porsi-porsi itu secara benar. Menjadi sangat ironi, Kementerian ini adalah Kementerian Hukum dan HAM, kalau pada saat yang sama di dalam pengelolaan lembaga pemasyarakatan tidak menempatkan atau menghargai hak-hak asasi dari para warga binaan yang ada di sana,” katanya.
Untuk itu, Yasonna merasa perlu adanya pembenahan jika ingin mengurangi hak-hak warga binaan. Sesuai falsafah pemasyarakatan, Ditjen PAS tidak boleh mengurangi hak-hak warga binaan. Ditjen PAS bertugas melakukan pembinaan terhadap narapidana. Justru ujung dari pemberian hukuman berada di tangan hakim.
Sebagaimana diketahui, di era kepemimpinan Menkumham Amir Syamsuddin, telah terbit sejumlah kebijakan mengenai pengetatan hak-hak warga binaan. Beberapa diantaranya, Permenkumham No.21 dan Surat Edaran Menkumham No.M.HH-13.PK.01.05.06 Tahun 2014 tentang pelaksanaan PP No.99 Tahun 2012.
Bahkan, Amir bersama Wamenkumham Denny Indrayana menginisiasi terbitnya PP No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP No.32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP itu memberikan pengetatan syarat bagi warga binaan kejahatan terorganisir, seperti korupsi.
Akibat pengetatan tersebut, Ditjen PAS kerap menjadi sasaran empuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan para pegiat anti korupsi. Tengok saja ketika terpidana kasus korupsi Hartati Murdaya mendapatkan pembebasan bersyarat. Permasalahan ini sempat memantik ketidaksepahaman antara kedua lembaga.
Dengan demikian, Yasonna membuat suatu “gebrakan” dengan mewacanakan agar pencabutan atau pengurangan hak-hak terpidana tidak lagi menjadi domain Kemenkumham, melainkan lembaga yudikatif. Hal itu dilakukan demi mengembalikan marwah pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan narapidana.
“Misalnya hakim membuat putusan sekian puluh tahun tanpa hak remisi. Jangan nanti Kemenkumham yang menjadi sorotan. Masing-masing lembaga punya tupoksi. Kan hakim yang menghukum. Kami nanti akan membuat satu pertemuan dengan Mahkamah Agung untuk membuat suatu kebijakan bersama,” ujarnya.
Lempar tanggung jawab
Walau begitu, Yasonna membantah jika dianggap melempar tanggung jawab kepada Mahkamah Agung. Ia menjelaskan, penjatuhan hukuman ada di tangan hakim, sedangkan Ditjen PAS bertugas membina para narapidana. Jadi, apabila ingin mengurangi hak narapidana, pengurangan hak itu dituangkan dalam putusan hakim.
Senada, mantan Menkumham Andi Matalatta juga berpendapat bahwa yang berhak mengurangi atau mencabut hak-hak warga binaan hanya hakim, undang-undang, dan kelakuan warga binaan itu sendiri. Ia menganggap lembaga pemasyarakatan memiliki filosofi yang berbeda dengan penegak hukum.
Jika, Kepolisian memiliki asas presumption of guilt, sehingga mencari bukti atas ada atau tidaknya suatu tindak pidana untuk dilimpahkan ke Kejaksaan dan kemudian diuji di pengadilan, lembaga pemasyarakatan bertugas melakukan pembinaan terhadap narapidana yang telah dijatuhi putusan oleh pengadilan.
Sesuai UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, para warga binaan memiliki hak untuk mendapatkan remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat. Andaikata hak-hak warga binaan itu ingin dihilangkan, lanjut Andi, tentu bukan Menkumham yang memutuskan, tetapi harus melalui putusan hakim.
“Jadi, kalau memang mau menghilangkan hak-hak narapidana dalam bentuk remisi, pembebasan bersyarat, hakim itu punya hak. Ini harus disosialisasikan kepada rakyat bahwa memang falsafah pemasyarakatan itu berbeda. Walaupun mungkin ini tidak populer karena pikiran orang kan penjahat itu harus dihukum,” tuturnya.
Pidana tambahan
Untuk mencari titik temu wacana tersebut, Yasonna berencana melakukan pembahasan dengan Mahkamah Agung (MA). Ia melihat adanya kemungkinan untuk menerapkan wacana itu dengan mencantumkan pencabutan hak mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat sebagai pidana tambahan dalam putusan hakim.
Namun, menurut Kabiro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur, praktik penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak remisi atau pembebasan bersyarat hingga kini belum pernah ada. Pidana tambahan yang biasa dijatuhkan hakim adalah pencabutan hak-hak tertentu untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.
Ridwan menjelaskan, kewenangan remisi atau pembebasan bersyarat merupakan kewenangan lembaga eksekutif. Ketentuan itu diatur tersendiri dalam UU Pemasyarakatan. Apabila mau melihat apakah pencabutan hak remisi masuk dalam klasifikasi hak-hak tertentu, tentu perlu memerlukan kajian secara mendalam.
“Tapi, kan hakim punya diskresi-diskresi dalam menjatuhkan pemidanaan. Jangankan mencabut hak tertentu, ibaratnya mencabut nyawa saja bisa dalam hal pidana mati. Ada juga pidana tambahan seperti menjaga jarak tertentu kepada pihak korban dalam hal kejahatan terhadap perempuan,” katanya kepada hukumonline.
Ridwan berpendapat, untuk memulai wacana itu, idealnya Menkumham juga berkoordinasi dengan Kejaksaan. Pasalnya, penjatuhan putusan didahului dengan surat tuntutan jaksa. Jika jaksa juga mencantumkan pencabutan hak remisi atau pembebasan bersyarat dalam tuntutannya, mungkin hakim bisa mempertimbangkan.
“Misalnya jaksa menuntut untuk tidak diberikan remisi dalam perkara extraordinary crime, seperti korupsi, terorisme, atau pelanggaran HAM berat. Pengadilan kan biasanya lama-lama mengerucut menjadi yurisprudensi. Artinya silakan saja kalau ada jaksa yang punya nyali membuat penerapan baru di dalam tuntutannnya,” ujarnya.
Kendati demikian, Ridwan memahami ekspektasi masyarakat terhadap pemidanaan terpidana korupsi maupun kejahatan luar biasa lainnya. Ia juga menganggap wacana patut dipertimbangkan, mengingat Kemenkumham sering menjadi bulan-bulanan karena masyarakat memandang terpidana korupsi tidak layak diberikan remisi.
Masyarakat menganggap remisi atau pembebasan bersyarat itu tidak adil. Apalagi banyak terpidana dalam perkara-perkara khusus yang semestinya menjalani hukuman puluhan tahun, tetapi sekian tahun sudah keluar karena mendapat remisi. Malahan terkadang, setahun terpidana tersebut bisa mendapatkan beberapa remisi.
Perubahan UU
Mantan Ketua Kamar Pidana Khusus MA Djoko Sarwoko mengatakan, sebenarnya wacana Menkumham sangat progresif. Namun, ia berpendapat, tidak mudah merealisasikan wacana tersebut dalam waktu singkat. Perlu ada perubahan undang-undang sebagai cantelan bagi hakim untuk mengakomodir pidana tambahan itu dalam putusan.
Djoko menjelaskan, lembaga yudikatif memiliki kewenangan untuk menjatuhkan pemidanaan. Adapun klasifikasi pidana tambahan sudah diatur dalam KUHP dan UU lain yang memuat jenis pidana tambahan. Sementara, remisi merupakan memiliki sumber hukum yang berbeda, yaitu UU Pemasyarakatan.
Sesuai Pasal 10 KUHP, ada tiga jenis pidana tambahan yang dapat dijatuhkan hakim dalam putusan pemidanaan. Pertama, pencabutan hak-hak tertentu, kedua perampasang barang-barang tertentu, dan ketiga pengumuman putusan hakim. KUHP juga mengatur beberapa macam hak terpidana yang dapat dicabut hakim.
Berdasarkan Pasal 35 KUHP, hakim dapat mencabut hak-hak terpidana, seperti hak memegang jabatan umum atau jabatan tertentu, hak memasuki angkatan bersenjata, hak memilih dan dipilih dalam pemilihan, hak menjadi penasihat hukum atau pengurus, hak menjadi wali atau pengampu, serta hak untuk menjalankan mata pencaharian tertentu.
“Nah, kalau (pencabutan hak remisi/pembebasan bersyarat) mau dimasukan dalam putusan hakim, dasarnya agak sulit karena remisi kewenangan eksekutif. Jadi, saya kira semestinya UU-nya diubah dulu dan mau dimasukan di bagian mana? Kalau mau dimasukan dalam semua UU, berarti UU Tipikor, TPPU, semua harus masuk,” tuturnya.
Djoko menerangkan, ada pemisahan yang jelas antara lingkup kewenangan yudikatif dan eksekutif. Hakim menjatuhkan hukuman dalam rangka pro yustisia, sedangkan pemasyarakatan memberikan pembinaan terhadap terpidana dan bukan lagi di bawah pro yustisia. Remisi sendiri merupakan pengurangan masa hukuman.
Oleh karena itu, Djoko menilai agak sulit untuk menyatukan dua lingkup kewenangan itu dalam suatu putusan hakim. Walau begitu, ia sependapat dengan pandangan yang menyebutkan hanya hakim dan UU yang dapat mengurangi atau mencabut hak seseorang. Namun, pencabutan hak tersebut harus dilakukan berdasarkan undang-undang.
Dengan demikian, Djoko berpandangan, perubahan UU harus dilakukan terlebih dahulu supaya tidak ada hukum yang dilanggar. Revisi UU diperlukan agar hakim memiliki payung hukum untuk memberikan pidana tambahan berupa pencabutan hak remisi atau pembebasan bersyarat dalam putusannya.
“Misalnya, dimasukan ke dalam UU yang mengatur kejahatan serius, sprti terorisme dan korupsi. Itu kan publik sudah tau bahwa untuk kejahatan seperti itu tidak layak diberikan remisi. Itu nanti dalam UU-nya harus jelas, tindak pidana apa saja yang diberikan remisi dan tidak. Jadi, banyak sekali perubahan UU yang harus disesuaikan,” tandasnya.