Tak butuh waktu lama bagi “kabinet kerja” Presiden Joko Widodo dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk menggelar seremonial di kementeriannya
masing-masing. Jokowi memerintahkan semua menterinya segera bekerja,
tidak terkecuali Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusian (Menkumham)
Yasonna Hamonangan Laoly.
Sehari setelah serah terima jabatan, Yasonna langsung menggelar rapat
dengan jajaran eselon satu di Kemenkumham. Doktor di bidang kriminologi
ini ingin memetakan sejumlah permasalahan di kementeriannya. Salah satu
yang menjadi perhatian Yasonna adalah masalah pemenuhan hak-hak
terpidana atau warga binaan.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) kerap menjadi
bulan-bulanan ketika memberikan remisi atau pembebasan bersyarat kepada
warga binaan. Apalagi jika remisi atau pembebasan bersyarat tersebut
diberikan kepada warga binaan yang merupakan terpidana korupsi atau extraordinary crime lainnya.
Terhitung sejak Januari hingga Agustus 2014, terdapat 75.147 warga
binaan yang keluar/bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Sebanyak
26.809 narapidana mendapatkan program pembebasan bersyarat (PB), cuti
Bersyarat (CB), dan cuti menjelang bebas (CMB). Sementara, 5 persen
narapidana bebas dengan remisi.
Perbandingan Penghuni yang Masuk dan Keluar Lapas
|
||
Tahun |
Masuk |
Keluar |
2012 |
108.807 |
41.225 |
2013 |
135.826 |
90.795 |
2014 (akhir Agustus) |
88.662 |
75.147 |
Perbandingan Jumlah Penghuni Keluar/Bebas
|
||||
Tahun |
Bebas Murni |
Bebas Remisi |
PB/CB/CMB |
Total |
2012 |
5.109 (12%) |
3.165 (8%) |
32.951 (80%) |
41.225 |
2013 |
38.216 (42%) |
3.221 (4%) |
49.358 (54%) |
90.795 |
2014 |
44.133 (59%) |
4.205 (5%) |
26.809 (36%) |
75.147 |
Sumber : Ditjen PAS
Berangkat dari fenomena itu, Yasonna ingin meluruskan persepsi
masyarakat dalam memandang hak-hak warga binaan. Pasalnya, di satu sisi,
Kementerian yang ia nahkodai adalah Kementerian yang mengurusi
permasalahan hukum, tetapi di sisi lain Kementerian ini juga harus
menghormati hak asasi warga binaan.
Menurut Yasonna, sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, Ditjen
PAS memiliki falsafah yang sedikit berbeda dengan penegak hukum. Ditjen
PAS memandang pemidanaan bukan sebagai pemenjaraan melainkan upaya
pembinaan narapidana agar kelak dapat kembali ke masyarakat sebagai
manusia yang lebih baik.
“Sudah saatnya kita meletakan porsi-porsi itu secara benar. Menjadi
sangat ironi, Kementerian ini adalah Kementerian Hukum dan HAM, kalau
pada saat yang sama di dalam pengelolaan lembaga pemasyarakatan tidak
menempatkan atau menghargai hak-hak asasi dari para warga binaan yang
ada di sana,” katanya.
Untuk itu, Yasonna merasa perlu adanya pembenahan jika ingin mengurangi
hak-hak warga binaan. Sesuai falsafah pemasyarakatan, Ditjen PAS tidak
boleh mengurangi hak-hak warga binaan. Ditjen PAS bertugas melakukan
pembinaan terhadap narapidana. Justru ujung dari pemberian hukuman
berada di tangan hakim.
Sebagaimana diketahui, di era kepemimpinan Menkumham Amir Syamsuddin,
telah terbit sejumlah kebijakan mengenai pengetatan hak-hak warga
binaan. Beberapa diantaranya, Permenkumham No.21 dan Surat Edaran
Menkumham No.M.HH-13.PK.01.05.06 Tahun 2014 tentang pelaksanaan PP No.99
Tahun 2012.
Bahkan, Amir bersama Wamenkumham Denny Indrayana menginisiasi terbitnya
PP No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP No.32 Tahun 1999
tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan. PP itu memberikan pengetatan syarat bagi warga binaan
kejahatan terorganisir, seperti korupsi.
Akibat pengetatan tersebut, Ditjen PAS kerap menjadi sasaran empuk
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan para pegiat anti korupsi. Tengok
saja ketika terpidana kasus korupsi Hartati Murdaya mendapatkan
pembebasan bersyarat. Permasalahan ini sempat memantik ketidaksepahaman
antara kedua lembaga.
Dengan demikian, Yasonna membuat suatu “gebrakan” dengan mewacanakan
agar pencabutan atau pengurangan hak-hak terpidana tidak lagi menjadi
domain Kemenkumham, melainkan lembaga yudikatif. Hal itu dilakukan demi
mengembalikan marwah pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan
narapidana.
“Misalnya hakim membuat putusan sekian puluh tahun tanpa hak remisi.
Jangan nanti Kemenkumham yang menjadi sorotan. Masing-masing lembaga
punya tupoksi. Kan hakim yang menghukum. Kami nanti akan membuat satu
pertemuan dengan Mahkamah Agung untuk membuat suatu kebijakan bersama,”
ujarnya.
Lempar tanggung jawab
Walau begitu, Yasonna membantah jika dianggap melempar tanggung jawab
kepada Mahkamah Agung. Ia menjelaskan, penjatuhan hukuman ada di tangan
hakim, sedangkan Ditjen PAS bertugas membina para narapidana. Jadi,
apabila ingin mengurangi hak narapidana, pengurangan hak itu dituangkan
dalam putusan hakim.
Senada, mantan Menkumham Andi Matalatta juga berpendapat bahwa yang
berhak mengurangi atau mencabut hak-hak warga binaan hanya hakim,
undang-undang, dan kelakuan warga binaan itu sendiri. Ia menganggap
lembaga pemasyarakatan memiliki filosofi yang berbeda dengan penegak
hukum.
Jika, Kepolisian memiliki asas presumption of guilt, sehingga
mencari bukti atas ada atau tidaknya suatu tindak pidana untuk
dilimpahkan ke Kejaksaan dan kemudian diuji di pengadilan, lembaga
pemasyarakatan bertugas melakukan pembinaan terhadap narapidana yang
telah dijatuhi putusan oleh pengadilan.
Sesuai UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, para warga binaan
memiliki hak untuk mendapatkan remisi, asimilasi, dan pembebasan
bersyarat. Andaikata hak-hak warga binaan itu ingin dihilangkan, lanjut
Andi, tentu bukan Menkumham yang memutuskan, tetapi harus melalui
putusan hakim.
“Jadi, kalau memang mau menghilangkan hak-hak narapidana dalam bentuk
remisi, pembebasan bersyarat, hakim itu punya hak. Ini harus
disosialisasikan kepada rakyat bahwa memang falsafah pemasyarakatan itu
berbeda. Walaupun mungkin ini tidak populer karena pikiran orang kan
penjahat itu harus dihukum,” tuturnya.
Pidana tambahan
Untuk mencari titik temu wacana tersebut, Yasonna berencana melakukan
pembahasan dengan Mahkamah Agung (MA). Ia melihat adanya kemungkinan
untuk menerapkan wacana itu dengan mencantumkan pencabutan hak
mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat sebagai pidana tambahan
dalam putusan hakim.
Namun, menurut Kabiro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur, praktik
penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak remisi atau pembebasan
bersyarat hingga kini belum pernah ada. Pidana tambahan yang biasa
dijatuhkan hakim adalah pencabutan hak-hak tertentu untuk memilih dan
dipilih dalam jabatan publik.
Ridwan menjelaskan, kewenangan remisi atau pembebasan bersyarat
merupakan kewenangan lembaga eksekutif. Ketentuan itu diatur tersendiri
dalam UU Pemasyarakatan. Apabila mau melihat apakah pencabutan hak
remisi masuk dalam klasifikasi hak-hak tertentu, tentu perlu memerlukan
kajian secara mendalam.
“Tapi, kan hakim punya diskresi-diskresi dalam menjatuhkan pemidanaan.
Jangankan mencabut hak tertentu, ibaratnya mencabut nyawa saja bisa
dalam hal pidana mati. Ada juga pidana tambahan seperti menjaga jarak
tertentu kepada pihak korban dalam hal kejahatan terhadap perempuan,”
katanya kepada hukumonline.
Ridwan berpendapat, untuk memulai wacana itu, idealnya Menkumham juga
berkoordinasi dengan Kejaksaan. Pasalnya, penjatuhan putusan didahului
dengan surat tuntutan jaksa. Jika jaksa juga mencantumkan pencabutan hak
remisi atau pembebasan bersyarat dalam tuntutannya, mungkin hakim bisa
mempertimbangkan.
“Misalnya jaksa menuntut untuk tidak diberikan remisi dalam perkara extraordinary crime,
seperti korupsi, terorisme, atau pelanggaran HAM berat. Pengadilan kan
biasanya lama-lama mengerucut menjadi yurisprudensi. Artinya silakan
saja kalau ada jaksa yang punya nyali membuat penerapan baru di dalam
tuntutannnya,” ujarnya.
Kendati demikian, Ridwan memahami ekspektasi masyarakat terhadap
pemidanaan terpidana korupsi maupun kejahatan luar biasa lainnya. Ia
juga menganggap wacana patut dipertimbangkan, mengingat Kemenkumham
sering menjadi bulan-bulanan karena masyarakat memandang terpidana
korupsi tidak layak diberikan remisi.
Masyarakat menganggap remisi atau pembebasan bersyarat itu tidak adil.
Apalagi banyak terpidana dalam perkara-perkara khusus yang semestinya
menjalani hukuman puluhan tahun, tetapi sekian tahun sudah keluar karena
mendapat remisi. Malahan terkadang, setahun terpidana tersebut bisa
mendapatkan beberapa remisi.
Perubahan UU
Mantan Ketua Kamar Pidana Khusus MA Djoko Sarwoko mengatakan,
sebenarnya wacana Menkumham sangat progresif. Namun, ia berpendapat,
tidak mudah merealisasikan wacana tersebut dalam waktu singkat. Perlu
ada perubahan undang-undang sebagai cantelan bagi hakim untuk mengakomodir pidana tambahan itu dalam putusan.
Djoko menjelaskan, lembaga yudikatif memiliki kewenangan untuk
menjatuhkan pemidanaan. Adapun klasifikasi pidana tambahan sudah diatur
dalam KUHP dan UU lain yang memuat jenis pidana tambahan. Sementara,
remisi merupakan memiliki sumber hukum yang berbeda, yaitu UU
Pemasyarakatan.
Sesuai Pasal 10 KUHP, ada tiga jenis pidana tambahan yang dapat
dijatuhkan hakim dalam putusan pemidanaan. Pertama, pencabutan hak-hak
tertentu, kedua perampasang barang-barang tertentu, dan ketiga
pengumuman putusan hakim. KUHP juga mengatur beberapa macam hak
terpidana yang dapat dicabut hakim.
Berdasarkan Pasal 35 KUHP, hakim dapat mencabut hak-hak terpidana,
seperti hak memegang jabatan umum atau jabatan tertentu, hak memasuki
angkatan bersenjata, hak memilih dan dipilih dalam pemilihan, hak
menjadi penasihat hukum atau pengurus, hak menjadi wali atau pengampu,
serta hak untuk menjalankan mata pencaharian tertentu.
“Nah, kalau (pencabutan hak remisi/pembebasan bersyarat) mau dimasukan
dalam putusan hakim, dasarnya agak sulit karena remisi kewenangan
eksekutif. Jadi, saya kira semestinya UU-nya diubah dulu dan mau
dimasukan di bagian mana? Kalau mau dimasukan dalam semua UU, berarti UU
Tipikor, TPPU, semua harus masuk,” tuturnya.
Djoko menerangkan, ada pemisahan yang jelas antara lingkup kewenangan
yudikatif dan eksekutif. Hakim menjatuhkan hukuman dalam rangka pro
yustisia, sedangkan pemasyarakatan memberikan pembinaan terhadap
terpidana dan bukan lagi di bawah pro yustisia. Remisi sendiri merupakan
pengurangan masa hukuman.
Oleh karena itu, Djoko menilai agak sulit untuk menyatukan dua lingkup
kewenangan itu dalam suatu putusan hakim. Walau begitu, ia sependapat
dengan pandangan yang menyebutkan hanya hakim dan UU yang dapat
mengurangi atau mencabut hak seseorang. Namun, pencabutan hak tersebut
harus dilakukan berdasarkan undang-undang.
Dengan demikian, Djoko berpandangan, perubahan UU harus dilakukan
terlebih dahulu supaya tidak ada hukum yang dilanggar. Revisi UU
diperlukan agar hakim memiliki payung hukum untuk memberikan pidana
tambahan berupa pencabutan hak remisi atau pembebasan bersyarat dalam
putusannya.
“Misalnya, dimasukan ke dalam UU yang mengatur kejahatan serius, sprti
terorisme dan korupsi. Itu kan publik sudah tau bahwa untuk kejahatan
seperti itu tidak layak diberikan remisi. Itu nanti dalam UU-nya harus
jelas, tindak pidana apa saja yang diberikan remisi dan tidak. Jadi,
banyak sekali perubahan UU yang harus disesuaikan,” tandasnya.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar secara bijak sesuai tofik opini pembahasan