Oleh : Adi Condro Bawono
Meminjam penjelasan artikel
Metamorfosis Badan Hukum Indonesia, dalam hukum perdata telah lama diakui bahwa
suatu badan hukum (sebagai suatu subyek hukum mandiri; persona standi in
judicio) dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig handelen; tort).
Penafsiran ini dilakukan melalui asas kepatutan (doelmatigheid) dan keadilan
(bilijkheid). Oleh karena itu dalam hukum perdata suatu badan hukum (legal
person) dapat dianggap bersalah melakukan perbuatan melawan hukum, disamping
para anggota direksi sebagai natural persons.
Berbeda permasalahannya dalam
hukum pidana. Dalam ilmu hukum pidana, gambaran tentang pelaku tindak pidana
(kejahatan) masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan
oleh pelaku (fysieke dader). Sedangkan, perbuatan korporasi selalu diwujudkan
melalui perbuatan manusia (direksi; manajemen).
Permasalahan lainnya, menurut
Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Bismar
Nasution dalam tulisannya “Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya” yang
dimuat dalam blog bismar.wordpress.com, banyak pihak yang tidak mendukung
pandangan bahwa Badan Hukum sebagai suatu korporasi (perusahaan) yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak
kejahatan serta memiliki criminal intent yang melahirkan pertanggungjawaban
pidana. Di samping itu, mustahil untuk dapat menghadirkan di korporasi dengan
fisik yang sebenarnya dalam ruang pengadilan dan duduk di kursi terdakwa guna
menjalani proses peradilan. Terlebih lagi, pengaturan mengenai pemidanaan
terhadap badan hukum sebagai subjek hukum tidak dapat kita temui dalam Kitab
Undang-Undang hukum Pidana (“KUHP”).
Masih menurut Bismar, di dalam
KUHP yang dianggap sebagai subjek hukum pidana hanyalah orang perseorangan
dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Sehingga, KUHP saat
ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh
korporasi, namun hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi.
Hal ini, terang Bismar, bisa kita
lihat dalam Pasal 398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang pengurus atau
komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan
korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau diperintahkan penyelesaian
oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun 4 bulan.
Akan tetapi, pada perkembangannya
Badan Hukum juga dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum. Bismar
menjelaskan, korporasi mulai diposisikan sebagai subjek hukum pidana dengan
ditetapkannya UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Kemudian, bermunculan pengaturan tentang
kejahatan korporasi yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
seperti di antaranya:
1.
Undang-Undang No. 11/PNPS Tahun 1964 tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi.
2. Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan (“UU Jalan”).
3. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menurut Bismar, berdasarkan
sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat tiga bentuk
pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang
sudah ada, yaitu dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam
Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) UU Jalan. Kemudian, dapat pula dibebankan kepada
organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang
bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pidana, seperti yang diatur
dalam Pasal 20 ayat (2) UU Tipikor dan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Kemudian kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik pada pengurus
korporasi sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada
koorporasi, contohnya seperti dalam Pasal 20 ayat (1) UU Tipikor. Demikian
menurut Bismar Nasution.
Dari penjelasan di atas kiranya
dapat kita simpulkan bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku saat ini badan hukum sebagai subjek hukum dapat dijatuhi pemidanaan.
Sekian penjelasan dari kami,
semoga membantu.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang hukum Pidana.
2. Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
3. Undang-Undang No. 11/PNPS Tahun 1964
tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
4. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
6. Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan.
7. Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
8. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.