Kritik & saran positif silakan di email abd.kholik99@gmail.com / abd.kholik67@yahoo.com

Monday, December 10, 2012

SP3


Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau lazim disingkat SP3. SP3 merupakan surat pemberitahuan dari penyidik pada penuntut umum bahwa perkara dihentikan penyidikannya. SP3 menggunakan formulir yang telah ditentukan dalam Keputusan Jaksa Agung No. 518AJ.A112001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. 132JA111994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.
Penghentian penyidikan merupakan kewenangan dari penyidik yang diatur dalam pasal 109 ayat (2) KUHAP. Alasan-alasan penghentian penyidikan diatur secara limitatif dalam pasal tersebut, yaitu
1.      Tidak diperoleh bukti yang cukup, yaitu apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka. 
2.      Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana.
3.      Penghentian penyidikan demi hukum. Alasan ini dapat dipakai apabila ada alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara lain karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa.
SP3 diberikan dengan merujuk pada pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu
1.      Jika yang menghentikan penyidikan adalah penyidik Polri, pemberitahuan penghentian penyidikan disampaikan pada penuntut umum dan tersangkakeluarganya
2.      Jika yang menghentikan penyidikan adalah penyidik PNS, maka pemberitahuan penyidikan disampaikan pada
a)     penyidik Polri, sebagai pejabat yang berwenang melakukan koordinasi atas penyidikan; dan
b)     penuntut umum
Demikian penjelasan singkat kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum
1.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2.      Keputusan Jaksa Agung No. 518AJ.A112001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. 132JA111994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana

Visum Et Repertum


Pada banyak kasus pencabulan/pemerkosaan visum et repertum (VER) sangat dibutuhkan bagi pembuktian adanya 'kerugian' yang dialami oleh korban (anak), kebanyakan korban berasal dari tingkat ekonomi yag tidak mapan. VER berdasarkan permintaan resmi dari kepolisian kepada instalasi kesehatan (RS dan lain-lain) dan merupakan hak prerogratif dari kepolisian baik dalam hal permintaan maupun dalam pengambilan hasil VER tersebut. Lantas, siapakah yang menanggung biaya yang diakibatkan oleh VER, apakah korban atau pihak pihak lainnya? Jika korban (yang menanggung) alangkah sangat memilukan sekali, sudah menjadi korban harus membayar biaya tersebut.
Visum et repertum, diatur dalam Pasal 13 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP):
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena perstiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”
Selanjutnya menurut Pasal 136 KUHAP, biaya untuk kepentingan penyidikan perkara pidana ditanggung oleh negara.
“Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kedua Bab XIV ditanggung oleh negara.”
Jadi, biaya visum et repertum yang dimintakan oleh penyidik, untuk kepentingan penyidikan perkara pidana ditanggung oleh negara.
Untuk selanjutnya Anda bisa baca mengenai biaya visum dalam artikel ini.
Demikian sejauh yang kami tahu. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Apakah Badan Hukum Dapat Dipidana?


Oleh : Adi Condro Bawono 
Meminjam penjelasan artikel Metamorfosis Badan Hukum Indonesia, dalam hukum perdata telah lama diakui bahwa suatu badan hukum (sebagai suatu subyek hukum mandiri; persona standi in judicio) dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig handelen; tort). Penafsiran ini dilakukan melalui asas kepatutan (doelmatigheid) dan keadilan (bilijkheid). Oleh karena itu dalam hukum perdata suatu badan hukum (legal person) dapat dianggap bersalah melakukan perbuatan melawan hukum, disamping para anggota direksi sebagai natural persons.
Berbeda permasalahannya dalam hukum pidana. Dalam ilmu hukum pidana, gambaran tentang pelaku tindak pidana (kejahatan) masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pelaku (fysieke dader). Sedangkan, perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi; manajemen).
Permasalahan lainnya, menurut Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Bismar Nasution dalam tulisannya “Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya” yang dimuat dalam blog bismar.wordpress.com, banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa Badan Hukum sebagai suatu korporasi (perusahaan) yang  wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intent yang melahirkan pertanggungjawaban pidana. Di samping itu, mustahil untuk dapat menghadirkan di korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang pengadilan dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani proses peradilan. Terlebih lagi, pengaturan mengenai pemidanaan terhadap badan hukum sebagai subjek hukum tidak dapat kita temui dalam Kitab Undang-Undang hukum Pidana (“KUHP”). 
Masih menurut Bismar, di dalam KUHP yang dianggap sebagai subjek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Sehingga, KUHP saat ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi.
Hal ini, terang Bismar, bisa kita lihat dalam Pasal 398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun 4 bulan.
Akan tetapi, pada perkembangannya Badan Hukum juga dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum. Bismar menjelaskan, korporasi mulai diposisikan sebagai subjek hukum pidana dengan ditetapkannya UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Kemudian, bermunculan pengaturan tentang kejahatan korporasi yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti di antaranya:
 1.      Undang-Undang No. 11/PNPS Tahun 1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
2.      Undang-Undang No. 38 Tahun 2004  tentang Jalan (“UU Jalan”).
3.      Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.      Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menurut Bismar, berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat tiga bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) UU Jalan. Kemudian, dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pidana, seperti yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU Tipikor dan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Kemudian kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik pada pengurus korporasi sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada koorporasi, contohnya seperti dalam Pasal 20 ayat (1) UU Tipikor. Demikian menurut Bismar Nasution.
Dari penjelasan di atas kiranya dapat kita simpulkan bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini badan hukum sebagai subjek hukum dapat dijatuhi pemidanaan.
Sekian penjelasan dari kami, semoga membantu.
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang hukum Pidana.
2.      Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
3.      Undang-Undang No. 11/PNPS Tahun 1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
4.      Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5.      Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6.      Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
7.      Undang-Undang No. 38 Tahun 2004  tentang Jalan.
8.      Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

APA PERAN DAN FUNGSI ADVOKAT YANG MENDAMPINGI KORBAN TINDAK PIDANA?


Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) memang tidak mengatur mengenai pendampingan korban oleh advokat. Adapun yang diatur dalam KUHAP adalah pendampingan hukum bagi tersangka atau terdakwa selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (lihat Pasal 54).
 Tapi, di dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU KDRT”) diatur mengenai peran dan fungsi advokat dalam mendampingi korban kekerasan dalam rumah tangga (“KDRT”) dalam pemeriksaan di pengadilan.
 Dalam Pasal 25 UU KDRT disebutkan bahwa dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib:
a.      memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;
b.      mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
c.      melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
Juga terkait dengan kasus yang melibatkan anak-anak di bawah 18 (delapan belas) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, diatur bahwa setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Dalam hal pemberian bantuan hukum ini tentu melibatkan advokat untuk memberikan bantuan hukum bagi anak-anak korban atau pelaku tindak pidana.
Lebih jauh, mengenai pendampingan korban dapat kita temui pengaturannya dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU PSK”). Dalam UU PSK tersebut hak-hak korban diatur dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu:
Boks: Hak-hak Korban menurut UU PSK:
a.      memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b.      ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c.       memberikan keterangan tanpa tekanan;
d.      mendapat penerjemah;
e.      bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f.        mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g.      mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h.      mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i.         mendapat identitas baru;
j.        mendapatkan tempat kediaman baru;
k.       memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l.         mendapat nasihat hukum; dan/atau
m.     memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Sebagai kesimpulan, pada dasarnya peran dan fungsi advokat yang mendampingi korban dalam pemeriksaan di pengadilan adalah untuk memastikan hak-hak korban terpenuhi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada sebagaimana telah kami sebutkan di atas.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2.      Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
3.      Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
4.      Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Saturday, November 24, 2012

LINCOLN & STANTON

LINCOLN & STANTON


Saat Abraham Lincoln masih pengacara muda, ia sering berkonsultasi dengan pengacara lain tentang kasusnya.

Pernah salah seorang pengacara melihat Lincoln sekilas, saat dia duduk di ruang tunggu untuk menjumpai pengacara itu, "Apa yg dia lakukan di sini ? Singkirkan dia !! Aku tidak akan berurusan dgn seekor monyet kaku seperti itu!"

Lincoln berpura-pura tidak mendengar, walaupun dia tau kalo hinaan itu disengaja. Biarpun malu, dia tetap bersikap tenang.

Ketika pengadilan berlangsung, Lincoln diabaikan. Dia disisihkan tempat duduknya.
Pengacara yang begitu kejam menghina Lincoln, ternyata membela kliennya dengan brillian. Penalarannya sangat bagus.

Penanganannya atas kasus membuat Lincoln terpesona. Lincoln berkata, "Argumennya tepat dan sangat lengkap. Begitu tertata dan benar-benar dipersiapkan. Aku akan pulang dan lebih giat belajar hukum lagi."

Waktu berlalu.
Lincoln menjadi presiden. Diantara kritikus utamanya, terdapat Edwin M. Stanton, pengacara yang pernah menghinanya dan melukai hatinya begitu dalam.

Lincoln mengangkatnya di posisi penting sebagai Sekretaris Perang, karna Lincoln tidak pernah melupakan bahwa pengacara yang kata-katanya brutal itu merupakan pengacara berotak cerdas yang amat dibutuhkan negaranya.

Saat Lincoln meninggal, Stanton berkata, "Dia merupakan mutiara milik peradaban."

Hanya seseorang yang berkarakter dan punya semangat pengampun seperti Lincoln, dapat bangkit dan berhasil di atas penghinaan Stanton !

»»Pesan Moral:
Barangsiapa yang Hatinya Selalu Penuh Pemakluman, Pemaafan & Pengampunan, Maka Hidupnya Akan Berlimpah Kasih, Sukacita dan Kebahagiaan.
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone