Kritik & saran positif silakan di email abd.kholik99@gmail.com / abd.kholik67@yahoo.com

Friday, April 25, 2014

Golongan Bingung Menanti Revolusi

(Catatan Pengantar Pilpres 2014)
Oleh: Zulham Mubarak/ @zvlham
 Rakyat Indonesia sedang Jumud.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akar kata jumud dapat disandarkan pada kata lumpuh, stagnan, mandeg, dan statis. Jumud erat berkaitan dengan sensasi indera yang membentuk persepsi terhadap sesuatu. Bangsa ini jumud karena terjebak dalam drama demokrasi yang coreng moreng hasil bentukan oknum politisi zondernurani.
J. Barents dalam Ilmu Politika menjabarkan De wetenschap der politiek is de wetenschapdie het leven van de staat bestudeert…een maatschappelijk leven..waarvan de staat een onderdeel vormt. Dapat dimaknai bahwa ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Politik adalah udara bagi kelangsungan kehidupan masyarakat. Naiknya suhu politik ikut mempengaruhi psikologis rakyat. Makin terik suhu politik, makin labil kesehatan bangsa. Tengoklah miniatur negeri yang terjadi di ruang-ruang publik. Sikap intoleran melanda. Yang wajib dilindungi seperti anak-anak, perempuan, ibu hamil, dan penyandang disabilitas seringkali menjadi objek tertindas ketika nurani dan akal sehat hilang. Iklim politik yang tak kunjung stabil mendesak segala parameter sehat-sakitnya bangsa hingga titik nadir. Gaya hidup masyarakat kini makin minus.
Suhu politik makin terik ketika rakyat jenuh dengan parpol. Itu adalah dampak kecenderungan oknum partai yang ketika menjadi governing party justru menjalankan negara secara oportunistis demi keuntungan pribadi.
Harapan akan datang perubahan pasca regenerasi politisi muda juga kandas. Rakyat menyaksikan sebuah generasi politisi muda hancur lebur digilas kasus korupsi. Salah satu episode yang mengenaskan ketika Anas Urbaningrum yang menjadi ikon kebangkitan politisi muda telah menjadi bagian dari kleptokrasi. Jaringan lobi terkuat dan lintas partai yang dimotori Anas melalui KAHMI ambruk sudah.
Menyusul Anas, sederet politisi muda ikut terjerat dalam dinamika kerasnya jegal-menjegal. Seakan ada upaya sistemik untuk meredam jaringan politisi muda yang bergerak cair ibarat bola liar tanpa etika politik. Dan panggung kembali dikuasai politisi lawas seperti Megawati, Amien Rais, Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, dan Wiranto.
Situasi yang tidak menguntungkan berlanjut. Gagalnya regenerasi parpol mengorbankan kepercayaan rakyat. Pilihan tiga nama capres yang mengerucut pasca pileg juga tak mampu memenuhi ekspektasi publik. Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Aburizal Bakrie maju dengan rapor merahnya masing-masing.
Jokowi menjadi media darling dengan konsep pencitraan ala SBY yang dimodifikasi. Pengusaha dan kemudian Walikota Solo itu dicitrakan sebagai sosok pekerja yang menawarkan birokrasi ramah dan progressif. Kehadirannya di ruang publik semata-mata menjadi eskapasi kerinduan rakyat akan pemimpin yang bekerja, bukan yang sekedar berpidato. Walau pada akhirnya jika dicermati kepemimpinan Jokowi juga tak banyak menghasilkan kebijakan utuh yang prima dan langgeng. Akhirnya, program blusukan yang digoreng konsultan timses Jokowi, Stan Greenberg, tak mampu meyakinkan masyarakat luas. Jokowi effect pun ditinjau ulang.
Kini langkah Jokowi dihadang tsunami kampanye negatif tentang PDIP yang memiliki rapor buruk ketika berkuasa. Di era Presiden Megawati sejumlah aset negara tergadaikan ke asing dengan dalih menjaga stabilitas perekonomian. Antara lain, Indosat, Telkomsel, BCA, Bank Danamon, Bank Internasional Indonesia, penjualan kapal tanker VLCC pertamina dan penjualan gas murah ke Tiongkok. Belum lagi kegagalan meredam jerat kasus BLBI dan hingga kini negara berhutang ribuan triliun rupiah kepada IMF.  Setiap tahun pemerintah harus membayar bunga obligasi sebesar Rp 60 triliun kepada IMF hingga 2033 mendatang.
Publik pun mulai bertanya-tanya, akankah Jokowi mampu melawan kepentingan partai dan kepentingan pembisik sang ketua umum partai ketika kelak menjadi presiden? Membaca bahwa hadirnya Jokowi di tubuh PDIP tidak berangkat dari proses kaderisasi dan karier politik yang stabil, rakyat khawatir hal yang sama seperti ketika Megawati menjabat akan terulang.
Kandidat capres kedua, Prabowo Subianto juga terjebak dalam pusaran citra negatif. Mantan Danjen Kopassus itu tak pernah benar-benar bebas dari jerat masa lalunya yang kelam. Prabowo lekat dikaitkan dengan kasus penculikan aktivis pada 1997-1998 yang tidak kunjung tuntas. Satu orang terbunuh, 11 orang disiksa, 12 orang dianiaya, 23 orang dihilangkan secara paksa, 19 orang dirampas kemerdekaan fisiknya secara sewenang-wenang.
Dari 23 orang yang dihilangkan paksa, 13 orang belum diketahui keberadaannya. Mereka antara lain, Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser.
Putra begawan perekonomian, Soemitro Djojohadikusumo itu dituding terlibat dalam beberapa aksi pelanggaran HAM di Timor Timur (Timor Leste). Masa lalunya sebagai mantan menantu Presiden Soeharto, perceraiannya dengan Titik Soeharto, kehidupan pribadinya yang hingga kini masih menduda, ditambah derasnya penolakan dari kalangan etnis Tiongkok mengganjal mulusnya langkah Prabowo menuju istana.
Aburizal Bakrie juga punya catatan buruk soal semburan lumpur panas Sidoarjo alias lumpur Lapindo. Komitmen ganti rugi yang hingga kini tak juga tuntas tentu mengurangi elektabilitas. Mantan salah satu orang terkaya di Asia Tenggara itu dicitrakan media sebagai pengusaha dengan reputasi yang kurang baik dalam hal komitmen terhadap negara. Salah satunya terkait persoalan pajak yang membelit beberapa perusahaan Group Bakrie. Diantaranya adalah PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources, dan PT Arutmin yang sempat menunggak pajak hingga triliunan rupiah.
Padahal jamak diketahui bahwa taat pajak adalah bagian dari komitmen warga negara yang mendukung tegaknya perekonomian nasional. Elektabilitasnya kian tergerus ketika muncul video pribadina sedang berlibur bersama dua orang artis dan seorang politisi di Kepulauan Maladewa. Dukungan internal yang setengah hati dan faktor popularitas ARB kian mengganjal pencapresannya.
Stagnasi politik saat ini mirip dengan apa yang terjadi pada 1997-1998. Yang membedakan, kali ini stagnasi politik hanya akan berdampak pada skeptisme dan tingginya angka golput. Menurut saya, yang memiliki kemampuan untuk memecah kebuntuan dan virus jumud ini adalah tiga kandidat capres tersebut. Dalam era frustasi politik ini masing-masing capres harus pandai menakar dan menganalisa kemauan rakyat.
Rakyat memiliki kecenderungan melankolik dan melodramatik. Harus ada figur pahlawan yang teraniaya di awal dan menang secara ksatria di akhir cerita. Tapi jangan main-main dengan kemampuan publik menakar mana yang asli dan mana yang polesan. Zaman telah bergeser. Publik benar-benar rindu pemimpin yang tulus dan berani membuka borok dan dosa politiknya secara terbuka. Capres harus berani menyampaikan permintaan maaf atas apa yang terjadi di masa lalu. Mengutip Mahatma Gandhi, sebuah kesalahan tidak akan pernah menjadi kebenaran walaupun telah jamak diketahui publik luas, tak juga kebenaran akan menjadi kesalahan karena tak ada satupun yang melihatnya. Publik akan sangat mengapresiasi upaya meminta maaf atas kepalsuan yang selama ini disodorkan paksa di ruang-ruang bebas sembari secara terbuka berbagi ide tentang visi Indonesia di masa depan.
Meminjam istilah Lucius Annaeus  Seneca, ini adalah era distringit librorum multitudo yang diterjemahkan bebas sebagai era banjir informasi yang mendistraksi. Maka jangan harap anda akan menemukan rakyat yang kurang informasi. Rakyat makin cerdas dan paham bahwa negara ini tidak butuh figur polesan olah digital dengan konsep tangan menggepal memukul udara, senyum terbaik, dan pose yang dibuat-buat. Sosok rekayasa hasil olah tata cahaya rumit yang mengesankan wibawa sebaiknya disimpan saja di buku cerita anak. Rakyat rindu manusia utuh yang dilengkapi emosi, tangis, dan kesalahan. Rakyat yang sedang dilanda frustasi politik menanti pembuktian dan benci dengan janji palsu.
Bila kontrak politik capres adalah sebuah upaya membuktikan komitmen, maka tidak ada salahnya dicoba. Bahkan, self punishment yang dipublikasikan luas sebagai komitmen ketika gagal mencapai target setelah duduk di kursi presiden masih menjadi komoditas yang disukai publik. Indonesia menanti pemimpin yang membumi dan berani menghadapi setumpuk masalah bangsa. Yang faktanya, belum terwakili dengan kehadiran tiga nama kandidat tersebut.
Bangsa ini sudah muak dengan politisi yang waktunya tersita untuk memikirkan pemilu selanjutnya. Bangsa ini rindu hadirnya negarawan yang merelakan diri memikirkan generasi selanjutnya dan masa depan bangsa, bukan sekedar membidik kekuasaan dengan tamak dan rakus.
Sebagai penutup, besar kemungkinan pemilu kali ini akan berlangsung aman dan seorang kandidat akan terpilih dengan proses yang normatif. Tapi saya yakin, tanpa terobosan kreatif, angka golput akan bertambah. Mereka yang skeptis dan apatis akan mengisi ruang kosong demokrasi. Maka, kondisi frustasi politik ini akan terus berlangsung. Hingga entah pada suatu saat di masa depan kelak revolusi akan benar terjadi.
Lalu sebaiknya para capres mulai menakar niat dan bertanya serius pada diri. Akankah tersisa negeri ini kelak bagi anak-cucu kita? Berapa lama waktu tersisa sebelum Indonesia yang makmur hanya dongeng bagi anak-cucu kita di masa depan?

*) Penulis adalah mantan jurnalis, penulis buku dan kini menjadi buruh harian lepas.

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar secara bijak sesuai tofik opini pembahasan